Review : Melawat Ke Timur : Menyusuri Semenanjung Raja-raja

Saya tidak terlalu suka membaca buku tentang catatan perjalanan, tapi ketika Buku Mojok memaketkan Melawat ke Timur, Dari Twitwar ke Twitwar, Tamasya Bola dan Kesetrum Cinta sebagai paket Harbolnas 12/12/16 seharga delapan puluh ribu rupiah saja untuk empat buku, saya tidak pikir panjang.


Semua penulis buku tersebut asing bagi saya terkecuali penulis dari Twitwar ke Twitwar tapi saya tidak hendak mereview buku tersebut. Dari keempat buku tersebut yang paling menarik perhatian saya adalah Melawat ke Timur. Buku ini merupakan edisi cetak yang lain dari hasil liputan wartawan Jawa Pos, Kardono Setyorakhmadi, yang dimuat secara maraton selama bulan Ramadan antara Juni-Juli 2015 dalam rubrik “Jelajah Semanjung Raja-raja”.

Buku ini menyajikan cerita-cerita tentang Maluku dan Papua yang kaya nuansa dan tidak “hitam - putih” seperti sangkaan tak berdasar oleh banyak orang luar selama ini. Sebenarnya sudah banyak buku dengan tema seperti ini, namun umumnya terlalu akademik dan tidak terlalu mudah dipahami. Dan ketika jaman internet merambah bertambah banyak pula tulisan dengan nuansa yang lebih ringan namun sebagian besar masih merupakan opini penulisnya berbasis data dan informasi sekunder. Buku ini justru menghadirkan hasil pengamatan dan terapan langsung sang penulis dari sumber-sumber pertama (primer) selama melakukan perjalanan Ramadan 2015 di beberapa tempat penting yang terkait dengan Islam di Maluku dan Papua.


Buku ini terbagi menjadi tiga bagian sesuai dengan urutan perjalanan penulisnya. Maluku dan Pulau-pulau kecil disekitarnya, Di Semenanjung Raja-raja dan Minoritas Islam di Papua.


Pada bagian awal penulis bertemu dengan Mochtar Hatuwae yang menceritakan salah satu masjid tertua di nusantara yang terletak di Nageri Kaitetu, Kecamatan Leihitu, Maluku Tengah yang diselimuti oleh legenda. Masjid Wapaue yang dikisahkan pada suatu Jumat tahun 1664 ketika orang bangun mesjid sudah ada di tempatnya. Penulis menelusuri legenda itu hingga diperoleh cerita yang sebenarnya tentang masjid Wapaue tersebut. Yang saya temukan dari buku ini, ternyata toleransi masyarakat Maluku sangat tinggi. Karena tahu orang yang mereka antar berkeliling Maluku sedang berpuasa, dua orang yang mengantar penulis sama sekali tidak makan, minum, atau merokok. Padahal, mereka Nasrani dan pergi ke mana pun selalu membawa rokok. Bahkan ketika ditawari oleh penulis untuk istirahat di warung kopi mereka menolak atau ketika penulis mengijinkan mereka untuk merokok sebentar karena pada dasarnya mereka tidak berpuasa dan terlihat lemas, mereka hanya menjawab, “Jangan, ini sudah medan puasa. Katong segan.” Sikap ini bersifat natural. Pertanda saling menghargai sudah terinternalisasi pada diri mereka masing-masing. Tidak perlu ada spanduk bertuliskan “hormati orang berpuasa”.


Di Pulai Haruku terdapat kampung Islam dan Kampung Kristen. Hampir semua bersaudara, dan tak jarang ada satu keluarga yang terdapat kakak muslim, adiknya kristen. Di belahan Indonesia timur toleransi adalah hal natural dan biasa saja. Terasa begitu berbeda dengan di pulau Jawa saat ini. Mungkin kita bisa mulai bertanya pada diri sendiri, kenapa?
Jalur Jelajah


Rangkaian pulau penghasil rempah-rempah yang sekarang bernama Maluku Utara ini telah dikenal oleh bangsa-bangsa di dunia sejak dahulu. Pedagang dari Arab menyebutnya Jazirah Al-Mulk atau Semenanjung Raja-raja karena terdapat empat kerajaan di sana - Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan.


Keraton Kesultanan Ternate
Bicara agama dan bagaimana pelaksanaannya di Maluku memang harus menyelisik dulu secara garis besar mengenai adat setempat. Sebab, adat Maluku masih dipegang sangat kuat. Orang Maluku takut melanggar hukum adat. Perkara adat tak berarti hanya tari-tarian, pakaian tradisional dan ritual-ritual saja. Adat bagi masyarakat Maluku merupakan tatanan kehidupan yang terinternalisasi dalam pola pikir sehari-hari (halaman 15). Atas dasar ini, kehidupan beragama dijalankan beriringan dengan adat menjadikan ritual-ritual yang khas yang hanya terdapat di daerah Maluku dan sekitarnya. Di masjid adat Kerajaan Ternate misalnya terdapat tradisi jemaah tidak boleh mengenakan sarung, harus memakai penutup kepala, dan perempuan dilarang masuk. Dari buku ini pula saya jadi tahu bahwa di Ternate metode yang digunakan untuk menentukan awal Ramadan disebut dengan Metode Gusungi dan perayaan malam laelatul qodar disebut dengan malam ela-ela dan masih banyak fakta lainya yang dituturkan dengan sangat apik dan ringan oleh penulis. 
Banyak fakta menarik yang akan kita dapatkan dari buku ini termasuk cerita latar belakang tentang kerusuhan agama tahun 1999 hingga insiden Tolikara atau tips menyusuri Raja ampat dengan harga bersahabat. Buku ini penting bagi kita yang mencintai Indonesia dan masih punya harapan atas berlangsungnya keberagaman di negeri ini.

Comments

Kawasan timur memang seksi dan mempesona... 4 tahun tinggal di sana 17 th lalu, masih tetap membekas kenangannya sampai dgn sekarang..
Anonymous said…
Buku yg menarik sepertinya kak. Toleransi yg terasa oleh penulis buku ini, mungkin adalah hikmah dari kejadian lampau itu. Mereka belajar. Btw, baru tau kalo blogspot punya template sebagus ini :)
Achi Hartoyo said…
Sebenarnya nenek moyang kita sudah mengajarkan toleransi sejak dulu, cuma sayang saat ini nilai-nilai toleransi banyak menurun :(
Talif said…
Pas kunjungan di Klamono, Sorong. Saya sempat melihat Masjid berhadapam dengan Gereja dan memang toleransinya tinggi. Semoga bisa tetap dipertahankan, dan buku ini menjadi salah satu buku menarik untuk lebih memahami toleransi orang timur
Putri Reno said…
Pengen banget jelajahin timurnya Indonesia. Buku yang menarik nih. Semoga masih ada di toko buku Gra*****. Walau saya baca buku sesuai mood ikutan kubbu jadi tau buku apa saja yg bagus di baca.
Toleransi sebetulnya sudah mengakar di Siri kita tapi karena ego dan politik yang membuat terjadi isu Sara.
kHALID said…
Maluku memang sangat menarik, belum kesampean kesana.
Ning! said…
Indonesia timur... Pengen lihat indonesia dari sisi yang lain. Tapi belum kesampaian. Selama ini hanya berkutat di pulau jawa 😭
Ahhh....indahnya Toleransi. Semoga sampai skrg terus berlanjut toleransi di Indonesia
Annisa J. said…
Belum puasa bacanya nih hehe! indah ya bisa hidup rukun walau berbeda. Jadi mau ke maluku..
Lisa Fransisca said…
memahami toleransi setelah melakukan perjalanan sendiri, kemudian ditulis.
wah buku yag menarik!
Wah jadi pengen ikutan baca bukunya!
Info ke Raja Ampat dengan harga bersahabat boleh di-share, Mbak :D
Helloinez.com said…
Keren indonesia timur....
Penasaran sm bukunya
ndarikhaa.com said…
Jadi ingat kisah Raj Ampat yang ternyata Raja-raja nya sebagian dari Maluku Lak,
Kalu di Raja Ampat sendiri gw temuin masjid Agung yang megah di tengah masyarakat mayoritas Kristiani juga, keren ya, klo orang di dunia mikirnya se toleransi itu..

Damai lah dunia..
elsalova said…
Maluku yang tak malu-maluin ya. Eh apa sih
andai hidup rukun seperti itu bis merata di semua daerah ya. Pasti indonesia lebih indah lagi
Anonymous said…
Ahhh bukunya seru neh. Seandainya Waiting List buku aku sedikit. Aku mau pinjam bukumu.. :)

Buku-buku yang menggulas tentang Indonesia Timur sedikit banget.

Aku baca buku yang menggulas tentang Indonesia Timur yang paling bagus itu buku Sudirman Range Trails. Tentang menanjak gunung ke Cartenz dari Mapala Unpar Dkk





Popular posts from this blog

Pendakian Raung 3344 mdpl Via Kalibaru

Bukan Pasar Malam, Bukan Kejutan Biasa