Saya sedang dalam perjalanan pulang dari kondangan di Kuningan ketika partner kondangan saya cerita dia akan ke Raung bulan September. Saya sudah hampir berhenti total dari naik gunung sejak memasuki tahun 2017, hingga percakapan mengenai Raung itu tidak ada sedikitpun niat saya untuk naik gunung lagi. Tapi ini Raung, loh. Gunung yang tidak lebih tinggi dari Mahameru di Jawa Timur atau Slamet di Jawa Tengah, namun disebut memiliki jalur ter-ekstrim se-pulau Jawa. Sebelum sampai di Puncak Sejati kita harus melawati 3 titik ekstrim dan menyebrangi jembatan Shiratal Mustaqim. Rasanya ini adalah kesempatan yang tidak akan saya lewatkan, apalagi pendakian akan dilakukan bersama dengan teman-teman yang sudah menemani saya mendaki sejak pendakian gunung saya yang pertama. Jadi hal yang lakukan setelah masuk kantor pada hari Senin adalah pengajuan cuti. Estimasi pendakian Raung adalah 3-4 hari. Kami berencana mulai pendakian tanggal 20 September 2017 dan sampai di basecamp Regass kembal...
Saya tidak terlalu suka membaca buku tentang catatan perjalanan, tapi ketika Buku Mojok memaketkan Melawat ke Timur, Dari Twitwar ke Twitwar, Tamasya Bola dan Kesetrum Cinta sebagai paket Harbolnas 12/12/16 seharga delapan puluh ribu rupiah saja untuk empat buku, saya tidak pikir panjang. Semua penulis buku tersebut asing bagi saya terkecuali penulis dari Twitwar ke Twitwar tapi saya tidak hendak mereview buku tersebut. Dari keempat buku tersebut yang paling menarik perhatian saya adalah Melawat ke Timur . Buku ini merupakan edisi cetak yang lain dari hasil liputan wartawan Jawa Pos, Kardono Setyorakhmadi, yang dimuat secara maraton selama bulan Ramadan antara Juni-Juli 2015 dalam rubrik “Jelajah Semanjung Raja-raja”. Buku ini menyajikan cerita-cerita tentang Maluku dan Papua yang kaya nuansa dan tidak “hitam - putih” seperti sangkaan tak berdasar oleh banyak orang luar selama ini. Sebenarnya sudah banyak buku dengan tema seperti ini, namun umumnya terlalu akademik dan tida...
Bukan Pasar Malam hadir berbeda dari karya Pram yang lain. Jika karya Pram yang lain bersifat realis murni, maka bukan pasar malam hadir dengan sedikit aura mistis dan religius. Refleksi manusia ketika menghadapi keniscayaan kematian. Novel ini hanya setebal 104 halaman dan bisa kita selesaikan dalam satu kali duduk. Berkisah tentang pergulatan batin tokoh aku , seorang pejuang revolusi yang mendapat berita ayahnya sakit keras. Ada rasa bersalah karena sebelum sang ayah sakit, ia menuliskan surat bernada marah pada sang ayah. Dan ia mempertanyakan pada dirinya sendiri, dosakah ia? Rasa bersalah menghantui dan menyiksa dengan cara paling diam, ditingkahi kekecewaanya pada keadaan pasca revolusi yang tidak kunjung juga membaik di republik ini. Ia pulang ke Blora dengan beragam rasa dan menemukan kemiskinan dan rumah lamanya yang renta dimakan zaman. Bayangan berkejaran seiring kereta melewati stasiun dengan berbagai kenangan. “Dan berpuluh-puluh kenangan yang pahit dan yang senang de...
Comments