Gelap




















entah sudah kali keberapa saya berbaring disampingnya, di atas sebuah ranjang ukuran single, dalam sebuah kamar dimana semua lampu sudah dimatikan, saya mendengarkan dia bercerita. dia sahabat baik saya, seorang perempuan biasa sama seperti saya, namun dia memiliki kesabaran atau kebebalan yang luar biasa.

dalam gelap itu, saya akan mendengar dia sedikit terisak dan bercerita tentang bagaimana lelaki yang amat dia cinta bisa berlaku demikian tidak adil. saya hanya ingin mendengar, menimpali dengan 'hmm' sesekali sebagai tanda saya masih bertahan mendengar ceritanya. saya hanya mendengar tanpa ada satu niatpun untuk melontarkan pertanyaan atau mengatakan sesuatu untuk menanggapi ceritanya. saya hanya ingin mendengar, dan saya yakin dia hanya ingin didengar.

katakanlah kami memiliki cerita yang sama, semoga dengan akhir yang berbeda. cerita saya telah berakhir begitu saja. tanpa ucapan selamat tinggal atau pelukan terakhir untuk menyegel semua kenangan. cerita saya berakhir begitu saja, setalah sekian taun silih berganti mengecap bahagia dan nestapa, cerita saya berakhir. berkali-kali saya mengingatkan diri saya sendiri bahwa semua sudah berakhir. seperti kalimat yang tertulis disini berulangkali, cerita saya sudah berakhir.

dalam hati saya menyimpulkan apa yang terjadi pada sahabat saya adalah pengkerdilan identitas. saya tidak pernah mengerti bagaimana dia bisa bertahan dengan orang yang selalu memandangnya dengan sebelah mata. saya mungkin bisa mengerti tentang sebagian besar larangan bergaul yang ditetapkan untuknya, bagaimana demi lelaki yang dia pikir dia cinta, sahabat saya rela menyempitkan lingkaran pergaulan, mengasingkan diri dari sahabat-sahabatnya yang selama ini selalu ada untuknya. saya pernah mengalaminya, dan selama mendengarkan ceritanya saya mengerti apa yang dia rasakan, apa yang ia korbankan, dan saya tetap bertahan memilih diam. membiarkan dia larut dalam kata-katanya sendiri, saya berharap dia akhirnya mengerti sendiri. karena tidak ada satupun paham atau pengertian yang bisa kita jejalkan dalam kepala seorang manusia dewasa.

waktu menjelma ilusi dalam kegelapan malam dan tubuh kami yang berbaring berdampingan. saya masih mendengarkan dia bercerita. kali ini sahabat saya bercerita tentang seorang perempuan lain yang ternyata pernah hadir dalam hidup lelaki yang dia pikir dia cintai. dan perempuan itu hadir saat mereka masih bersama. sekali lagi saya mendengar dia terisak pelan, bagaimana mungkin dia bisa menerima kehadiran perempuan lain itu, ketika yang ia lakukan adalah menjadi perempuan paling setia yang bisa seorang lelaki punya. 

saya masih tidak ingin melontarkan pertanyaan atau mengatakan sesuatu yang bisa menghibur dia. satu-satunya hal yang saya ucapkan untuk sahabat saya adalah 'aku ngerti', dalam gelap saya mencoba menggapai tangannya, dan yang tergenggam adalah hati saya sendiri yang rapuh. merapuh mengenang segala cerita yang sekali lagi saya tegaskan, sudah berakhir dan yang tersisa adalah kenangan yang terus berputar entah demi apa. saya memang benar-benar mengerti seperti apa rasanya diduakan, ditigakan, diempatkan dan seterusnya hingga kemudian saya memutuskan untuk mengakhiri lingkaran setan tersebut. 

saya mengerti bagaimana perih bisa menjelma menjadi orang yang kita puja. bagaimana orang yang kamu cinta ternyata sumber segala luka. 
saya mengerti. hanya itu yang saya ingin dia tau.

sahabat saya mulai menangisi segala luka yang dia punya. sedangkan dalam hati saya merasa seharusnya dia bersyukur untuk semua itu. Tuhan masih berbicara padanya dengan bahasa yang mudah kita pahami bersama. segala luka yang tercipta adalah pertanda bahwa mungkin kita harus melangkah mencari jalan yang lebih baik. Tuhan berbicara, ada yang salah dengan jalan yang ia tempuh, sebelum semuanya terlambat seharusnya dia mencoba mencari jalan yang lebih baik.
saya sendiri sudah lupa seperti apa rasanya terluka. 

hati saya membeku penuh tusukan sembilu yang mengebalkan saya terhadap segala rasa, mati rasa. saya tidak menangis ketika memutuskan untuk menghapus semua jejaknya yang tersisa. saya tidak menangis ketika saya harus berjalan meninggalkan kenangan. seiring berjalannya waktu, yang tumbuh dalam diri saya kemudian adalah amarah. 

saya marah terhadap diri saya sendiri kenapa saya tidak bisa lebih berani. saya bertanya, jika saja kami berpisah sebelum semua luka ini membekukan segala rasa, mungkinkah suatu saat nanti kami dapat kembali berjumpa dan berjabat tangan layaknya dua orang kawan lama? saya tidak tahu.
setelah kemarahan yang panas membakar dada, saya kemudian sampai pada kesimpulan saya harus bisa memaafkan. 

saya harus bisa memafkan diri saya sendiri karena telah bertahan begitu lama, dan saya harus bisa memaafkan dia untuk langkahnya yang tak pernah pasti. saya mencoba berdamai dengan diri saya sendiri, dengan kenangan, apapun yang tersisa dari cerita yang pernah ada dalam hidup saya.

saya tidak ingin sahabat saya akhirnya jatuh pada perasaan beku yang pernah saya rasakan itu. saya tidak ingin dia akhirnya merasakan amarah itu. saya ingin dia terbang bebas dan menemukan apapun yang dia cari. yang tidak pernah dia dan lelaki yang dia pikir dia cintai itu tau adalah betapa hebatnya sahabat saya. 

lelaki yang dia pikir dia cintai itu selalu memandangnya sebelah mata, mereduksi nilai sahabat saya yang sebenernya, hingga akhirnya sahabat saya percaya dia tidak mampu melakukan apapun. saya bersedih untuk sahabat saya. namun disela tangisnya saya masih bertahan untuk tidak bertanya atau mengatakan sesuatu yang dapat menghiburnya. saya hanya ingin ada disana, berbaring disebelahnya diatas ranjang ukuran single dalam sebuah kamar yang sudah dimatikan lampunya berjam-jam yang lalu.

saya bertahan mendengarkan dia bercerita dan sahabat saya bertahan untuk terus mendedah luka. segala apa yang pernah ia rasa berpusar dalam ruangan gelap tanpa jejak waktu. kesadaran atas waktu menghempaskan kami kembali kedalam realita ketika akhirnya kami mendengar adzan subuh berkumandang di kejauhan.

kami memutuskan untuk keluar kamar, mengambil air wudu untuk bersiap solat subuh. di balkon, kami sama-sama melihat bulan purnama bersinar terang. kami terpukau sesaat, dan kemudian saya berkata, "kamu tau, apa yang kamu dan lelaki yang kamu pikir kamu cinta alami seperti sebuah kamar gelap yang mengurung kita semalaman ini, padahal kalo aja kamu mau keluar, kamu bisa melihat bulan yang terang. 

kamu sendiri yang memilih hidup dalam gelap. jadi jangan salahkan dia atau siapapun ketika semua luka menyergap dan dadamu terasa sesak menahannya. dan sekarang aku cuma mau tanya satu hal, apa yang sebenernya kamu cari?"
setelah bercerita semalaman pada akhirnya lidahnya kelu terhadap satu pernyataan dan pertanyaan sederhana.

“hidup adalah pilihan dan kita sendirilah yang bertanggung jawab untuk semua yang kita rasakan. kita terluka karena kita mengijinkan orang lain menyakiti kita. kita berteriak gelap karena kita lupa menyalakan lampu atau keluar dari ruang gelap untuk mencari seberkas cahaya di luar sana.
apa yang sebenarnya kita cari dalam hidup ini? mencari kebahagian namun bertahan pada situasi yang membuatmu tidak berbahagia?”

saya tau dia tau, namun dia hanya belum menemukan keberaniannya, sahabat saya belum menemukan sayapnya. dan tidak ada satupun hal yang bisa kita jejalkan ke dalam kepala seorang manusia dewasa. sore hari setelah isak tangis semalaman itu, saya melihat sahabat saya dan lelaki yang dia pikir dia cinta, berjalan bersama dan tertawa seolah segala luka yang sahabat saya dedahkan semalam suntuk dalam kamar gelap, tidak pernah ada.
‎Purbalingga, Tuesday, ‎12 ‎March, ‎2013  23:38:14

Comments

Anonymous said…
más que mil palabras esperan que se les hable, casi congelado por el momento, estaría allí un segundo para que se derrita?
Lala said…
terima kasih sudah mampir dan membaca

Popular posts from this blog

Pendakian Raung 3344 mdpl Via Kalibaru

Review : Melawat Ke Timur : Menyusuri Semenanjung Raja-raja

Bukan Pasar Malam, Bukan Kejutan Biasa