Tiga
*ini murni imajinasi*
Belakangan saya merasa hidup saya sangat lucu. Setelah gagal untuk menjalani cinta dengan satu orang yang sama, tiba-tiba saya merasa jatuh cinta pada tiga orang yang berbada pada saat yang sama. Saya benci penghianatan, mengobral cinta seperti yang tejadi di pasaraya. Dulu saya adalah seorang monoamori garis keras, yang tidak akan mungkin pernah setuju poliamori, tiba-tiba mencintai mereka.
Tiga laki-laki ini punya posisi dan peran yang berbeda dalam hidup saya. Lelaki pertama adalah wujud ideal gambaran orang tua saya tentang mantu sempurna. Pendidikan bagus, bekerja di sebuah perusahaan besar dan sudah punya rumah sendiri. Saya juga merasa bahwa dia adalah wujud suami sempurna, yah tidak sesempurna anggapan orang tua saya. Tapi dia memang mengaggumkan, selain rajin solat dan tentu saja ganteng. Kelemahannya adalah saya tidak bisa menjadi diri saya sendiri saat bersama dia. Saya harus menjaga gambaran diri saya yang sempurna, karena yang sempurna hanya pantas bersanding dengan yang sempurna.
Hari minggu kemarin saya pergi bersama pria pertama, orang tua melepas saya dengan senyum. Untuk sesaat saya merasa, inilah satu-satunya pria yang boleh saya cintai.
Tidak banyak yang tahu, dibalik senyum sempurna dan tawa yang membahana saya adalah pribadi yang terluka. Saya adalah Bodhi yang hanya diijinkan menatap semua manusia menjalani kehidupan normal, sedangkan hidup saya sendiri jungkir balik tidak beraturan. Saya berusia tujuh tahun ketika memutuskan jatuh cinta, dua puluh tahun kemudian saya menyadari cinta saya tidak mungkin. Tentu saja dia sudah menjadi suami orang, usia kami pun terpaut sepuluh tahun. Tidak ada yang pernah menyadari cinta absurd yang saya rasakan waktu kecil menyebabkan kecenderungan tertantu. Saya lebih suka dan nyaman jika bersama orang yang jauh lebih tua.
Betapa hidup, begitu pandai memainkan peran. Titik dimana saya menyadari cinta masa kecil saya tidak mungkin, saya bertemu dengan lelaki kedua. Dia adalah sahabat adik ibu saya. Awalnya, saya tidak melihat dia, namun dia selalu berkata bahwa saya adalah cahaya yang membuat dia bisa melihat kembali. Saya kemudian tahu bahwa dia baru saja melewati masa berkabung setelah perceraian dan kematian seseorang yang selalu dia anggap sebagai matahari hidupnya. Sang matahari memberinya seorang putra, namun setelah lima belas tahun kebersamaan tidak pernah dia sadari sang matahari memutuskan behenti menyinari hari-harinya. Dia tidak pernah mengungkapkan alasan sebenernya perpisahannya. Saya bersimpati dan berempati, sebelum masa tenang ini saya pernah merasakan apa yang dia rasakan.
Kami kemudian bertukar cerita, tertawa bersama dan tak terasa kami mulai saling menggenggam tangan kemudian dia mencium saya. Setelah hilang semua keterkejutan dari diri saya, saya menggenggam wajahnya dan menciumnya. Bersamanya seluruh dunia terasa tak ada, saya hanyalah saya, dan kami jatuh cinta.
Empat minggu. Empat minggu adalah waktu yang dia butuhkan untuk datang kepada saya dan meminta saya untuk menikah. Saya merasa saya mencintai dia, kemudian saya berkata iya. Dia kemudian berkata bahwa orang tua saya pasti akan sangat terkejut dengan semua ini. "Kamu berusia dua puluh tujuh, belum pernah menikah dan karier-mu sempurna. Memutuskan berkata iya padaku, seorang pria yang jauh lebih tua dan bahkan sudah punya anak". Kata-kata yang dia ucapkan menancapkan kesadaran baru dalam diri saya. Orang tua, keluarga, teman-teman, lingkungan dan tentu saja lelaki pertama, sang gambaran ideal yang dimiliki orang tua saya tentang mantu sempurna.
Menyadari ada yang salah, dia mengerti. Kami tetap bergandengan tangan dan sesekali berciuman. Ada jarak yang tidak bisa dihapus, ada cinta yang tidak bisa pupus.
Lelaki pertama dan lelaki kedua bekerja di kota besar yang jauh dari tempat dimana saya tinggal. Ada jeda sunyi dalam diri saya dan disinilah saya bertemu dia, lelaki ketiga.
Kanak-kanak seperti abadi dalam jiwanya. Usia dua puluh tujuh, saat saya sudah lelah bekerja kesana kemari, dia masih berjuang untuk menyelesaikan studi. Saya bisa kembali merasa remaja jika bersama lelaki ketiga, segala apa yang saya mau, bahkan apapun yang tak sengaja saya sebut, dia hadirkan kehadapan saya. Saya merasa seperti ratu, hati saya mungkin bersama si lelaki kedua, tapi bersama lelaki ketiga, saya merasa merdeka. Merdeka untuk melalukan hal-hal bodoh, hal-hal yang sudah tidak dilakukan lagi oleh perempuan seusia saya.
Kedua lelaki sebelumnya hanya bisa bersama dengan saya di akhir pekan, secara bergantian. Lelaki kedua mengetahui hal ini dan tidak merasa keberatan, dia juga tahu dengan keberadaan lelaki ketiga yang menemani saya selama meraka tak ada. Saya tidak mungkin menceritakan hal ini pada lelaki pertama, ketidaksempurnaan adalah aib yang tidak boleh ada, dan lelaki ketiga terlalu naif untuk menerima tiga cinta ini.
Saya mencintai mereka semua. Tidak sama besar, namun saya menemukan satu persatu keping diri saya dalam diri mereka bertiga. Menyakiti salah satu dari mereka sama saja dengan menyakiti diri saya sendiri. Meninggalkan salah satu dari mereka sama saja membunuh dari diri saya sendiri. Saya tidak bisa melakukannya. Saya mencintai mereka sekaligus. Bersama meraka, saya merasa genap.
Semua kegilaan ini berjalan pada waktu yang sama dan saya tidak tahu kemana semesta akan membawa saya dan mereka.
------------------------
If our love is tragedy, why are you my remedy?
If our love's insanity, why are you my clarity?
------------------------
If our love is tragedy, why are you my remedy?
If our love's insanity, why are you my clarity?
Comments