Perkara Pilihan
Saya adalah orang yang malas membaca
sejarah. Saya bisa saja membaca sejarah, tapi jika disuguhkan pilihan antara
buku sejarah atau novel Dan Brown, secara jujur saya akan memilih novel Dan
Brown. Bukan saya tidak tertarik dengan sejarah, it just bore me. I’m sorry.
Saya punya Panggil Saya Kartini Saja karya
Pramoedya Ananta Toer, Ketika Sejarah Berseragam, dan Menyintas Menyebrang,
tiga buku sejarah yang saya punya dan masih mulus tidak tersentuh. Setidaknya
saya berusaha. Berusaha mengenal sejarah bangsa sendiri. Dan maaf, saya masih
gagal. Dengan sadar saya akan lebih memilih, tujuh jilid Harry Potter dalam
bahasa aslinya, The Great Gatsby, Intelegensi Embun Pagi, Animal Farm, Frankenstein, namaku Mata Hari
dan terakhir The Zahir.
Buku – buku yang tiga bulan terakhir ini saya baca. Masih jauh sekali dari
target bacaan, tapi saya punya agenda murung yang tidak bisa diganggu gugat,
hanya suara adzan yang boleh menyela diantara agenda murung saya. Lain tidak.
Hari ini tepat 21 April, hari yang oleh
pemerintah ditetapkan sebagai Hari Kartini. Ada diskusi kecil tentang kenapa
hanya Kartini yang ditetapkan sebagai ikon pahlawan wanita. Kenapa tidak pula
demikian dengan wanita yang mengangkat senjata? Contohnya tentu saja Cut Nyak
Dien.
Mari mendedah dari diri saya sendiri,
kenapa Kartini? Tentu saja ini murni pendapat pribadi karena biografi Kartini
saja masih mulus belum terbaca. Mungkin saya bisa mulai baca nanti, yah lihat
saja.
Jadi kenapa Kartini?
Mungkin, karena Kartini berjuang sesuai
dengan kodrat kewanitaanya. Kartini tidak mengangkat senjata, dia diam dirumah
kemudian curhat ke sahabat-sahabat pena-nya di
amsterdam sana. Ada hal yang penting disini, perjuangan kartini itu curhat loh.
Kita, semua perempuan yang setidaknya bebas buta huruf harusnya bisa meniru
pergerakan ini. Curhat yang berbobot tapi, jangan kayak saya yang curhat mentok
soal kerjaan, nggak punya cuti, kapan trevelling dan munggah gunung lagi atau
curhat soal saling sayang tapi nggak bisa bareng.
Yang kartini suarakan adalah ide-ide
tantang generasi perempuan yang lebih baik dan tidak mudah galau dengan kondisi
yang dihadapinya masa itu. Kartini dengan segala keterbatasannya berusaha
mewujudkan cita-citanya melalui surat-suratnya. Ketika sudah akan masuk sekolah
kedokteran di Betawi, dia memilih untuk menikah. Dan setelah menikah, dia
justru menemukan cara untuk mendirikan sekolah. Sistem patriarki tidak
selamanya harus dipatahkan dengan perlawanan dan pemberontakan. Perempuan punya
caranya sendiri.
Mungkin, yang Kartini perjuangkan adalah agar
perempuan bergenerasi-generasi setelah generasinya dapat punya pilihan. Memilih
menjadi ibu rumah tangga, ibu pekerja, wanita pekerja setengah hari seperti
saya, pendaki jelita, menjadi apa saja yang mungkin. Menurut saya, yang beliau
perjuangkan adalah pilihannya itu. Memilih pekerjaan, pendidikan dan tentu saja
calon suami idamannya.
Jadi bagi wanita bekerja, wanita dengan
pendidikan tinggi luar biasa, jangan menganggap wanita yang memilih untuk diam
di rumah dan mengurus keluarga tidak menghargai perjuangan Kartini. Jika itu
adalah pilihan mereka, maka hal itu, mengurus hal-hal domestik adalah
semulia-mulianya pilihan perjuangannya. Kuncinya ada di
pilihan.
Perjuangan tidak melulu perkara perang,
bahkan berdoa bisa jadi sebuah perjuangan. Jika hanya itu pilihan yang kita
punya. Kalo masih punya banyak pilihan berjuang, yaaa mbok pilihlah perjuangan
yang lebih baik.
Senin (12/4), Sembilan Ibu-ibu
pejuang dari Rembang menggelar aksi heroik memasung kaki mereka dengan semen di
depan Istana. Aksi ini adalah sebagai bentuk protes penolakan kepada
Presiden Joko Widodo atas pendirian pabrik semen di wilayah tempat tinggal
mereka.
Perjuangan yang mungkin tidak saya
bayangkan akan bisa saya lakukan. Mereka merasa tidak ada pilihan lain lagi
selain memasung kaki mereka, sekarang pasung itu sudah dilepas tapi tetep ga
kebayang aja gimana mereka ke kamar mandi dengan kaki dipasung seperti itu. Jadi
inget Nur Aziz #eh
Saya tidak bilang, kebebasan berekspresi
wanita-wanita jaman sekarang ini murni perjuangan Kartini, ada peran demokrasi
di sana. Wanita masa kini di Indonesia bisa memilih jalan perjuangannya
sendiri. Menjadi apapun yang mereka inginkan, memilih apapun yang mereka
inginkan.
Kartini memilih curhat, kita semua bisa
curhat. Ndak ada yang pengen curhat dengan lebih baik gitu? Siapa tau... bisa
jadi buku. Eh siapa tau.
Mau cari tahu? :)
Comments