Menjadi Berani : Cerita Pendakian Gunung Slamet

Saya bukan seorang pemberani, meski tak sampai hati menyebut diri pengecut. Saya teringat betapa gentarnya saya menghadapi cuaca dan trek gunung Slamet bulan Februari yang lalu. Tak terhitung berapa kali saya merengek untuk menyerah, dan kemudian saya bersyukur sepenuh hati bahwa saya bersama dengan orang yang lebih yakin pada kemampuan saya daripada saya sendiri.

Saya tumbuh dengan pemandangan gunung Slamet yang terlihat jelas di depan rumah. Base camp Bambangan mungkin hanya 40 kilometer dari rumah, tapi saya belum punya kesempatan untuk mendakinya. Ketika ada tawaran dari Icus, si Anak Danone, untuk mendaki Slamet dan alhamdulillah pas ada tanggal merah, saya tidak berpikir panjang, langsung mengiyakan asal diijinkan ber-daypack ria. Tentu saja Icus akan lebih senang saya ber-daypack daripada nanti harus tandem keril dua. Jaga-jaga saya ngedrop.

Sabtu pagi Icus, Iqbal dan Kang Otoy sudah sampai di Pekalongan, sementara saya masih di kantor karena tidak bisa ijin tidak masuk, mentok ijin pulang gasik. Niatnya jam 9 kabur dari kantor tapi karena harus ke Dinkes jadi molor sampai jam 10 pagi. Hari cerah dari Pekalongan, tapi awan gelap membayang di arah yang kami tuju.

Cuaca bulan Februari memang masih di dominasi hujan, jadi sejak awal kami sudah bersiap. Kalo istilahnya si Iqbal, setelan basah. Daripada bawa tas kecil buat printilan hape dan dompet, saya mending bawa dry bag 5 liter. Aman. Sejak kehilangan charger dan satu hape jadul gara-gara air hujan rembes ke tas waktu trekking di Nglanggeran, saya mending bawa dry bag deh.

Dan benar, sampai basecamp gerimis. Karena sebenernya kami sudah terbiasa trekking hujan-hujanan, maka kami tetap maju. Setelah daftar simaksi, makan, beli air dan ganti baju trekking, kami mulai trekking sekitar pukul 4 sore. Saya hampir buta soal trek Slamet, ternyata dari basecamp sampe batas perhutani puanjaaaaaanggg... treknya masih datar-datar manja kayak trek semeru sebelum kalimati, begitu batas perhutani menuju pos 1. Wasalam.

Peta Pendakian Gn. Slamet

Tanjakan. Tanjakan semua. Dan trek tanah dikombinasi hujan?? Yah gitu deh. Belet. Diatas kertas, di peta yang diberikan saat pendaftaran, jarak tempuh basecamp sampai pos 1 sekitar 2 – 3 jam, sesuai lah keterangannya melewati perkebunan warga, lapangan dan vegetasi di dominasi hutan pinus. Alhamdulillah we’re on track. Hampir tepat dua jam kami bisa melewati pos 1, dari pos 1 menuju pos 2 hujan tambah lebat dikombinasi petir dan langit sudah gelap. Kami memutuskan ngecamp begitu menemukan tanah datar. Camp pertama setelah jalan dua setengah jam. Bikin tenda ditengah guyuran hujan lengkap sama petirnya. Badai.

Setelah gantian ganti baju, solat dalam tenda, kami berempat menghayati hujan deras pake banget bonus petir sama angin, untung tempat camp masih banyak pohon jadi lumayan aman dari angin, sambil menyusun strategi berikutnya ditengah cuaca badai. Kami baru di pos satu setengah dan udah ngecamp, masih ada 8 pos di depan. Saya mulai galau. Bisa nggak ya.

Rencana Icus, kita bangun jam tiga dini hari dan mulai jalan. Kenyataanya... badai belum reda sampai jam 7 pagi besoknya. Jam tujuh pagi sodara-sodara, dengan 8 pos yang yang harus dilewati sebelum summit attack.

Ketika badai reda jam tujuh, tentu kami tidak langsung berangkat karena masih harus masak dan packing tenda. Kami siap sekitar jam 9 pagi. Begitu mulai jalan, tanjakan... semua tanjakan dan kondisi trek tanah yang jadi setengah berlumpur nempel disepatu dan jalan jadi makin berat.

Cobaan sesungguhnya datang ketika saya mulai ketemu pendaki yang turun. Ngobrol basa basi dan mereka cerita mereka gagal summit karena badai dan trek menuju puncak longsor. Saya seketika gentar. Mulai merengek pertama ke orang yang jalan di depan saya, kang Otoy.

“tuh kang, puncak longsor. Pulang aja yuk”

Etdah Lala. Baru pos 2 udah minta pulang. Kang Otoy Cuma nanggepi dengan “jalan aja dulu, summit atau enggak urusan ntar. Udah sampe sini masa di  pos 2 udah nyerah?”

Kami selalu memegang teguh prinsip puncak itu bonus, tidak akan pernah memaksakan kondisi untuk terus maju, tapi jangan juga menyerah terlalu dini. Hadapi dulu trek dengan berani, kami hanya akan menyerah ketika alam atau kondisi tubuh yang sudah tidak memungkinkan untuk terus maju.

Dalam hati, saya takut ngerepotin. Inget waktu di Merapi, dari sore udah aklimatisasi begitu setengah dua belas malem trekking baru setengah jam jalan udah mountain sickness. Dan lumayan. Kuping berdenging kenceng, mual, muntah, berkunang-kunang dan ujung-ujungnya nangis kemudian daypack diambil Icus saya jalan lenggang satu pos, abis itu daypack saya ambil lagi. Tapi herannya pas itu nggak pengen nyerah. Lah di Slamet alhamdulillah saya nya sehat, alamnya yang keliatan nggak bersahabat. Saya takut.

Alhamdulillah kali ini saya bersama dengan teman-teman yang supportif dan tidak jengkel betapapun rewelnya saya. Mereka meminta saya jalan terus. Terserah mau break berapa kali. Dan tetap setiap ketemu pendaki yang turun saya nanya, “bisa summit nggak mas/mba?”. Yang jawabannya di dominasi dengan, “enggak. Badai. Puncak longsor”. Dan saya akan kembali merengek. Ke Kang Otoy, terus Iqbal yang jalan di belakang saya, dan ke Icus yang selalu jadi sweeper. Semua menulikan diri dari rengekan saya dan saya bersyukur karena itu. Kalo saat itu mereka mengikuti rengekan saya dan turun, saya yang mungkin jadi orang paling menyesal. Mereka percaya pada saya lebih dari saya percaya diri saya sendiri.

Hujan terus menderas, saya terus merengek, tapi kami tetap maju. Selangkah demi selangkah ditengah guyuran badai dan rengekan saya. Trek yang berubah jadi tanah liat, dibeberapa tempat yang jadi jalur air, air mengalir deras jadi sungai kecil.

Pos 4. Pondok Samarantu. 2648 mdpl.
Hampir tengah hari ketika kami sampai di Pos 4. Pos 4 atau Samaranthu ini terkenal angker dan ketika saya sampai di sana saya paham kenapa. Pos horor ini menjadi titik balik saya. Hujan sedikit mereda sehingga kami bisa break sebentar dan foto-foto. Kata Icus, semacam uji nyali foto-foto di Pos ini.  Saya lebih tenang dan ceria. Sudah hampir separuh jalan dan saya tidak ada gejala mountain sickness.

Hujan reda cuma sebentar, ketika mulai jalan hujan kembali menderas tapi saya sudah berhenti merengek. Kami sampai di pos 5 untuk berteduh sebentar. Oh iya, di Slamet dari mulai pos 1 sampai pos 5 ada warung, jadi bisa lah jajan-jajan dulu. Saya jajan-jajan di pos 2 dan 3, mayan ada gorengan, air dan buah. Pos 4 numpang foto sebentar. Karena hujan menderas lagi di pos 5 kita Cuma nebeng berteduh sebentar kemudian jalan lagi dengan tujuan ngecamp di pos 6. Trek makin nanjak aja naudzubillah. Dengkul ketemu dada. Hujan dan jalur air makin deres. Untung saya udah nggak ngerengek minta turun lagi.

Ternyata tanpa sadar pos 6 sudah kami lewati karena papan tanda pos 6 udah ilang kena ujan, hujan makin deras dan akhirnya kami memutuskan untuk nge-camp di tempat datar pertama yang kami temui karena sudah sekitar jam 4 sore dan tampatnya makin keatas vegetasi makin tipis.

Camp kedua. Lewat Pos 6. Hujan sempat reda berganti kabut tebal.
Kami terpaksa masak dalam tenda, Iqbal mulai mengeluh pusing, gantian saya yang merasa baik-baik saja dan berhenti ngeluh. Dan badai datang lagi sodara-sodara, kami berempat dalam tenda menghayati suara gemuruh dan deras hujan diluar sana, Kang Otoy kemudian buka hape dan nonton Kingsman sebagai distraksi untuk badai di luar tenda kami.

Ada beberapa pendaki yang turun dan numpang neduh di flysheet kami, dan kembali saya bertanya, “bisa summit nggak?”. Jawabannya masih sama, “enggak mba, badai, batu-batu di puncak longsor”. Tapi saya sudah nggak takut lagi. Kami berempat sepakat, kalo jam 3 badai nggak reda kami ngecamp sampai pagi kemudian turun. Kalau reda, puncak tinggal 3 jam dari tempat kami ngecamp.

trek menuju puncak. Kabut.

Hari masih gelap ketika kami sampai di Plawangan atau pos 9. Setelah plawangan jalur sebenernya summit attack di mulai. Jalur menanjak dan berbatu, kami harus ekstra hati-hati, takut batu pijakan tidak cukup kuat dan longsor. Saya tidak ingat persis gimana saya terus maju, setapak demi setapak, dalam gelap ngikutin langkah Iqbal di depan saya. Matahari mulai terbit sebelum kami sampai puncak, kami memutuskan berhenti sebentar dan mengaggumi gradasi fajar. Saya hampir nangis rasanya. Alam ini ya Allah... indah banget. Alhamdulillah.
akhirnya sunrise dan lautan awan

Sebelum sampai puncak ada tanjakan setinggi 150 cm-an lah, dan saya harus berusaha kerasa buat manjat. And voila... puncak??? Belom.

Karena tidak memungkinkan solat subuh di jalur menuju puncak, hal pertama yang kami lakukan setelah memanjat tanjakan terakhir itu adalah solat subuh. Cuaca berubah-ubah dengan sangat cepat. Sempat cerah ketika matahari terbit kemudian kembali tertutup kabut. Kami sampai di titik 3410 mdpl jam 5.40-an. Langsung cari arah barat dan solat subuh berjamaah diimami Iqbal, lengkap pake qunut.


Kemudian kami berlari sambil teriak teriak kaya orang gila. Puncak masih tertutup kabut tebal, kami gagal melihat kawah Gn. Slamet tapi nggak papa. Saat di puncak, saya nggak bisa menemukan kata-kata untuk menggambarkan apa yang saya rasakan. Cuma bisa bertahmid, tasbih dan takbir. Speechless. Setiap puncak yang saya capai adalah penaklukan diri sendiri sekali lagi.

Alhamdulillah. Wajar dan manusiawi untuk merasa takut, berpikir untuk menyerah. Semua akhirnya kembali jadi pilihan. Membiarkan rasa takut menguasai atau terus berjalan sedikit demi sedikit, setapak demi setapak hingga tidak ada gunung yang terlalu tinggi untuk didaki atau masalah yang terlalu besar untuk diselesaikan. Menjadi berani atau tidak, pilihannya selalu ada di tangan kita sendiri. Dan saya bersyukur sepenuh hati bersama sahabat-sahabat yang terus mendukung saya, bahkan ketika saya tidak percaya pada diri saya sendiri, mereka tetap percaya.

Terima kasih Fransiskus Oktavianto, Iqbal Firdaus dan Suyoto Raharjo, untuk terus percaya dan tidak bosan mendengarkan semua keluhan saya. We made it!




Comments

Nice story Kalala... Mae tuh suka banget klo liat cewek naik-naik ke puncak gunung gitu. Keliatan kereeennn!

*soalnya Mae belum pernah, heuheuu..

maeshare.blogspot.com
Wah serunya pendakiannya, sunrisenya cakep bener ^^ perjuangan gak sia2 hehehe
Unknown said…
Iyaaa Alhamdulillah...

Terimakasih sudah mampir titis 😊
Unknown said…
Makasih sudah mampir mae 😊
Unknown said…
Makasih sudah mampir mae 😊
Lala Yusuf said…
Gara-gara baca raung jadi mampir ke sini. Tapi mau liat trek menuju summitnya.

Popular posts from this blog

Pendakian Raung 3344 mdpl Via Kalibaru

Review : Melawat Ke Timur : Menyusuri Semenanjung Raja-raja

Bukan Pasar Malam, Bukan Kejutan Biasa