Pendakian Raung 3344 mdpl Via Kalibaru
Saya sedang dalam perjalanan pulang dari kondangan di Kuningan ketika partner kondangan saya cerita dia akan ke Raung bulan September. Saya sudah hampir berhenti total dari naik gunung sejak memasuki tahun 2017, hingga percakapan mengenai Raung itu tidak ada sedikitpun niat saya untuk naik gunung lagi. Tapi ini Raung, loh. Gunung yang tidak lebih tinggi dari Mahameru di Jawa Timur atau Slamet di Jawa Tengah, namun disebut memiliki jalur ter-ekstrim se-pulau Jawa. Sebelum sampai di Puncak Sejati kita harus melawati 3 titik ekstrim dan menyebrangi jembatan Shiratal Mustaqim. Rasanya ini adalah kesempatan yang tidak akan saya lewatkan, apalagi pendakian akan dilakukan bersama dengan teman-teman yang sudah menemani saya mendaki sejak pendakian gunung saya yang pertama.
Jadi hal yang lakukan setelah masuk kantor pada hari Senin adalah pengajuan cuti. Estimasi pendakian Raung adalah 3-4 hari. Kami berencana mulai pendakian tanggal 20 September 2017 dan sampai di basecamp Regass kembali tanggal 23 September. Saya berangkat dari Pekalongan tanggal 18 September malam karena titik kumpul kami adalah Yogyakarta agar bisa menggunakan kereta Sri Tanjung yang langsung berhenti di stasiun Kalibaru. Perjalanan kereta kami tempuh selama kurang lebih 12 jam. Lumayan juga, udah jungkir balik tuker-tukeran posisi duduk sama temen, pantat tepos, badan lepek, tapi masih belum juga sampai juga.
Kami sampai di stasiun Kalibaru kurang lebih pukul 20.00, kami langsung berjalan kaki menuju basecamp Regass yang ternyata hanya membutuhkan waktu 15 menit jalan kaki. Rombongan dipandu oleh Bang Ari, Cak Mansyur, Cak Heru dan Cak Manol. Kami tidak cukup nekat untuk mendaki Raung sendiri tanpa pemandu, karena jalur yang ekstrim membutuhkan persiapan lebih dari sisi fisik, peralatan hingga logistik.
Tanggal 20 September 2017 kurang lebih pukul 10 pagi kami siap memulai pendakian. Perjalanan menuju pendaftaran dan pos 1 ditempuh dengan menggunakan ojek untuk menghemat waktu dan tenaga. Ternyata walaupun menggunakan ojek, jalur menuju pos 1 cukup menguras tenaga karena medan yang curam, licin, sehingga kita harus berpegang erat pada pegangan motor. Jalan yang dilewati pun sempit diapit oleh ladang penduduk dan kebun kopi, kadang dibatasi oleh jurang. Naik ojek paling menegangkan yang pernah saya rasakan.
Ojek yang saya tumpangi mengantarkan kami di depan rumah Pak Sunarya yang menjadi Pos 1 pendakian gunung Raung via Kalibaru. Rumah ini dikelilingi kebun kopi yang berada pada ketinggian 980 mdpl. Di sana kita dapat beristirahat sebentar sambil menikmati kopi Raung yang ditanam dan diolah sendiri oleh keluarga Pak Sunarya. Kopi tersebut juga ada yang sudah dikemas dan bisa dibeli dengan harga sepuluh ribu rupiah per-bungkus.
Perjalanan dari Pos 1 - Pos 2 (1431 mdpl) menurut saya merupakan yang sangat panjang dengan trek yang belum menanjak melewati kebun kopi dan ladang warga. Di kejauhan kita bisa mendengar suara air terjun yang terletak jauh dibawah jalur pendakian. Jalur masih santai dan menyenangkan meski saya sempat muntah karena masuk angin.
Pos 2 |
Pos 2 - Pos 3 (1656 mdpl) jalur sudah mulai menanjak melewati hutan yang mulai merapat dan dibatasi oleh jurang di sisi kiri. Kemudian dari Pos 3 menuju Pos 4 (1855 mdpl) jalur semakin menanjak dan tidak terlalu berbeda dengan perjalanan dari Pos 2 menuju Pos 3, belum banyak hal menarik di sini. Kami memutuskan untuk mendirikan camp di Pos 4 yang berupa tanah lapang yang tidak terlalu lebar, cukup untuk mendirikan tiga sampai empat tenda. Total waktu yang kami habiskan dari Pos 1 - Pos 4 adalah sekitar 4,5 jam dengan kecepatan standar. Kami memutuskan menginap walau saat itu masih sekitar pukul 5 sore, tapi menurut Bang Ari, jalur Raung yang sebenarnya dimulai setelah Pos 4 dan tidak disarankan bagi kami trekking di malam hari.
Kami sangat bersyukur bagaimana para pemandu mengatur ritme trekking dengan memperhatikan kondisi tiap peserta. Dalam tim kami ada dua wanita, saya dan Ikhong. Sebelum memulai pendakian Ikhong sudah dalam kondisi datang bulan, pagi di Pos 4 saya juga ternyata datang bulan. Bagi kami berdua hal tersebut tidak menjadi masalah, teman sependakian kami juga sudah biasa. Saya juga sedang datang bulan ketika mendaki Rinjani dan Mahameru. Tapi tetap saja hal itu membuat Cak Heru menjadi lebih waspada, apalagi malam ketika kami ngecamp di Pos 7 bertepatan dengan tanggal 1 Suro.
Kami memulai perjalanan dari Pos 4 menuju Pos 5 (2115 mdpl) kurang lebih pukul 10 pagi, trek ini dilalui dengan banyak mengucap istigfar. Jalan tanah membentang pendek-pendek karena harus literally didaki. Jarak antara satu pos dengan pos yang lainnya tidak terlalu lama dilalui tapi ya itu… hiks. Sungguh naik gunung yang membuat kita semakin dekat kepada Sang Pencipta.
Dari Pos 5 ke Pos 6 (2285 mdpl) tidak terlalu lama, tapi jalur semakin naudzubillah, menyesakan dada dan membuat kita selalu waspada, kanan dan kiri ada jurang :(
Sebelum Pos 7 terdapat tanah datar yang tidak terlalu luas tapi cukup untuk ngopi-ngopi dan masak cream sup sejenak, kata mas pemandu itu adalah pos bayangan. Lumayan untuk sejenak menghela nafas. Dari pos bayangan, Pos 7 tinggal sekejap mata. Eh enggak deng! Trek semakin kejam tapi jarak sudah tidak jauh lagi. Kami sampai di Pos 7 (2541 mdpl) kurang lebih jam 2 siang. Total perjalanan dari Pos 4 ke Pos 7 kurang lebih 4 jam dengan speed santay kayak di pantai. Bang Ari memang menge-set kami untuk tidak terlalu lelah sampai Pos 7, karena siksaan sebenernya baru dimulai setelah Pos 7. Pos 7 kami masak dan istirahat. Malam pertama di Pos 7 kami disuguhi pemandangan yang luar biasa.
Pukul 12.30 malam kami mulai summit attack dengan tidak lupa makan dulu, perkiraan Bang Ari kami butuh lebih dari 12 jam untuk pulang pergi. Setelah menyiapkan semua peralatan climbing yang dibawa oleh Cak Heru, persediaan air dan makanan ringan, kami berangkat. Jika perjalanan dari Pos 4 menuju Pos 7 membuat kami semakin banyak istigfar, maka dari Pos 7 kami mulai membaca ayat kursi. Trek nyaaaa ya Allah Rabbi…
Kami sampai di Pos 8 (2876 mdpl) ketika waktu sholat subuh tiba. Segera setalah sholat kami bergegas melanjutkan perjalanan, sebelum sampai di Pos 9 hari sudah terang dan kami bisa melihat gunung Semeru dan Argopuro. Pos 9 dan seterusnya pepohonan sudah terbuka dan jarak menuju Puncak Bendera hanya kurang lebih sakuncalan kolor.
Puncak Bendera dan Mulai Pake Harness |
Pos 9 adalah batas vegetasi, angin bertiup sangat kencang ketika kami sampai di Puncak Bendera. Saya sampai tidak berani berdiri karena takut terbang tertiup angin. Di Puncak Bendera kami mulai memake harness, carabiner dan figure 8. Bang Ari membuat pertimbangan apakah kami menuju Sejati melewati Puncak 17 atau melipir melewati bagian bawah Puncak 17. Bagian bawah Puncak 17 relatif lebih aman dari angin walau ya sama aja sih, dipinggir jurang juga.
Akhirnya Bang Ari memutuskan kami bisa lewat Puncak 17. Yey! (padahal dengkul lemes). Ya gimana nggak lemes, ngana bayangikan saja seperti ini. Seneng banget sih setelah selesai manjat pake jumarnya.
Menuju Puncak 17 |
Tampak Atas |
Baru Sampe Puncak 17 |
Setelah sampai di Puncak 17 kami masih harus menuruni puncak dan menemukan jembatan Shiratal Mustaqim di depan mata. Cak Heru yang menyeberang pertama untuk menyiapkan tali kami turun dari jembatan ini dan selanjutnya naik lagi. Setelah Cak Heru, giliran Bang Ari dan saya. Saya pegang tangan Bang Ari dan hanya berani melihat kakinya. Pemandangan di sudut mata membuat kepala saya berdesir. Jurang. Jurang entah dengan kedalaman berapa ratus meter kebawah.
Setelah shiratul mustaqim, kita harus turun dengan menggunakan webbing yang sudah disiapkan Cak Heru. Setelah itu kita dihadapkan pada full tanjakan batu, persis summit Slamet tapi lebih miring dan terjal.
Shiratul Mustaqim |
Trek Berbatu |
Setelah tanjakan batu ini, mlipir ke kiri kita akan menemukan Puncak Tusuk Gigi, sedangkan Sejati di sisi kanan. Kami memutuskan untuk langsung menuju Puncak Sejati karena saat itu cerah namun lumayan berkabut.
Sejati |
Teman Seperjuangan Sejak Pendakian Pertama |
Kawah |
Membaca, Menulis, Menginspirasi |
Pukul 11 siang, setelah selesai makan dan foto-foto, ples yang cowok sholat dzuhur karena hari itu pas hari jumat dan tidak memungkinkan untuk jumatan seperti di Kalimati, kami mulai turun. Jangan tanya gimana, saya aja suka nggak kebayang. Kalo naik itu udah berat, nah turun itu... yaaa... begitulah :)
Dokumenter perjalanan ini bisa juga dilihat di https://youtu.be/Rn_YAl9NtNo
:)
Comments
Dari 3 thn slma ini, tiap temen mondar mandir ke raung selalu diajak. Tapi jawabanya selalu sama. Ngga tahun ink. Wkwj
Masih ada yg perlu didamaikan. Takut ketinggian, huft.
Salut buat yf udah muncak raung. Apalagi cewe, dtg bulan pula. Salut. Sungkemdah
Saya cuma bisa membayangkann keseruan pendakiannya.
Aku bacanya aja ikutan degdegan..